Jumat, 25 januari 2008 04:53 WIB
A Fauzi Yahya
Di antara penyakit Pak Harto yang paling mengemuka adalah payah jantung. Namun, mantan Presiden Indonesia itu tidak menderita payah jantung sendirian. Sekitar 10 persen penderita usia di atas 75 tahun fungsi pompa jantungnya melemah. Lima juta orang Amerika dan sedikitnya 10 juta orang Eropa menderita payah jantung.
Sejumlah peneliti di Indonesia telah mulai mendata jumlah penderita payah jantung yang kini terbaring di berbagai rumah sakit.
Penderita payah jantung di negeri kita ada yang mendapat terapi yang memang semestinya didapat, namun tidak sedikit yang diobati seadanya baik karena masalah finansial maupun lantaran keterbatasan tenaga ahli dan peralatan di rumah sakit.
Payah jantung terjadi manakala organ pompa darah tubuh itu tidak mampu mencurahkan jumlah darah yang mencukupi kebutuhan metabolisme sel-sel tubuh.
Berbagai hal dapat mengganggu fungsi jantung. Penyakit jantung koroner (termasuk serangan jantung) dapat mencetuskan payah jantung. Tekanan darah tinggi (hipertensi) dalam jangka panjang dapat melemahkan fungsi jantung.
Penyebab lain payah jantung adalah gangguan irama jantung, penyakit katup jantung, penyakit jantung bawaan, dan paparan zat-zat toksin—termasuk obat-obat kemoterapi.
Infeksi kuman di jantung dapat pula mengganggu fungsi jantung. Kardiomiopati adalah jenis payah jantung yang penyebabnya hingga sekarang belum diketahui dengan pasti.
Mekanisme kompensasi
Sebelum fungsi jantung benar benar payah, tubuh melakukan upaya kompensasi untuk mempertahankan curah jantung melalui reaksi neurohumoral yang kompleks seperti aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, norepineprin dan arginin vasopressin.
Namun aktivasi neurohumoral itu bagaikan pedang bermata dua, yaitu dapat menjadi racun yang membuat sel-sel jantung berguguran dan tergantikan oleh jaringan ikat yang tidak punya kemampuan kontraksi.
Bila tidak terdapat usaha-usaha untuk ”menolong” jantung, organ ini secara progresif akan mengalami penurunan fungsi pompa yang akhirnya dapat berpotensi merusak berbagai organ termasuk ginjal.
Kalau faal organ-organ lain ikut memburuk maka penanganannya jadi tambah rumit. Lebih dari 50 persen penderita payah jantung berat akan meninggal dalam kurun satu tahun.
Untuk itu, sebelum payah jantung terjadi atau sulit dikendalikan maka penting mendeteksi lebih dini faktor-faktor yang berpotensi merusak organ pompa darah tubuh itu.
Deteksi dini telah dilakukan dan terbukti efektif mencegah perkembangan lebih lanjut kanker payudara, kanker leher rahim, kanker prostat, bahkan osteoporosis.
Para ahli jantung yang dimotori American College Cardiology/American Heart Association membagi payah jantung dalam empat stadium.
Yang tergolong stadium A adalah mereka dengan faktor risiko tinggi mengalami payah jantung (seperti penderita hipertensi, penyakit kencing manis, penyakit jantung koroner).
Pada fase ini tidak dijumpai keluhan maupun abnormalitas struktur jantung.
Walaupun tidak ada keluhan seseorang dikategorikan stadium B bila teridentifikasi adanya gangguan struktur jantung seperti penebalan dinding jantung, adanya jaringan parut ataupun kontraksi jantung yang mulai menurun.
Bila sudah atau pernah ada keluhan payah jantung, penderita dikategorikan dalam stadium C.
Kalau payah jantung sudah susah diterapi dengan obat-obat yang biasa digunakan dan bolak balik masuk rumah sakit serta membutuhkan intervensi khusus maka sudah masuk dalam stadium D yang merupakan tahap terakhir payah jantung.
Dengan diperkenalkannya sistem ini, usaha-usaha menekan progresivitas gangguan jantung dapat segera dilakukan.
Pada mereka yang berada pada stadium awal, walaupun tidak ada keluhan dan jantungnya baik-baik saja, mereka perlu didorong untuk memperbaiki gaya hidup baik dengan diet sehat, aktivitas fisik yang rutin, dan mengontrol faktor-faktor risiko yang dimilikinya.
Berbagai studi membuktikan terapi efektif hipertensi dapat menekan insiden payah jantung hingga 50 persen.
Tekanan darah yang meninggi terus-menerus akan mencetuskan sinyal biologis pada mekanoreseptor—suatu reseptor khusus di membran sel-sel jantung—untuk melakukan perubahan internal dalam sel yang ujung-ujungnya akan menebalkan bilik kiri jantung dan akhirnya dapat memperlemah kerja jantung.
Penderita kencing manis tidak hanya perlu menekan kadar gula darah, namun jantungnya pun perlu dicek karena bisa jadi terdapat gangguan jantung yang tak kentara.
Pengecekan itu dimulai dari cara yang sederhana, seperti pemeriksaan rekam listrik jantung (EKG) yang dilanjutkan tes ban berjalan (treadmill).
Jika diperlukan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan sidik perfusi, ekokardiografi, pemindaian jantung hingga angiografi koroner.
Bila ternyata ada gangguan jantung, terapi intensif lebih dini dapat dilakukan guna mencegah terjadinya pemburukan lebih lanjut.
Adapun pada penderita yang telah didiagnosis dengan penyempitan pembuluh koroner maka perlu usaha-usaha untuk ”menjinakkan” progresivitas penyempitan tersebut melalui pengendalian faktor-faktor risiko dan yang terpenting di antaranya dengan menekan kadar kolesterol.
Kolesterol
Kadar kolesterol LDL yang dikenal dengan kolesterol ”jahat” diusahakan diturunkan hingga di bawah 100 mg/dl melalui obat golongan statin.
Bila penderita penyempitan koroner ini ternyata disertai penyakit kencing manis, angka tersebut disarankan di bawah 70 mg/dl.
Pada sebagian penderita dengan dugaan penyempitan yang berat pada pembuluh koroner maka perlu dilakukan angiografi koroner untuk mengetahui kelainan anatomi pembuluh koroner jantung yang kemudian dapat dilanjutkan ke tindakan perbaikan aliran darah (revaskularisasi) apakah melalui tindakan intervensi nonbedah seperti pemasangan ”cincin” (stent) atau lebih jauh harus dilakukan operasi bedah pintas koroner.
Usaha menjaga fungsi jantung memang tidak dapat dilakukan secara pasif, namun menuntut upaya pro-aktif yang empunya sebelum jantung melemah dan tak berdaya.
Dr A Fauzi Yahya SpJP, Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah RS Hasan Sadikin/ Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung .
KOMPAS - Jumat-25 Januari 2007