Friday, January 25, 2008

Widya Pratama Mengolah Kopi dengan Jurus Kejujuran

BANYAK orang yang percaya bahwa kopi bisa menjadi sumber bencana bagi kesehatan. Ada yang mengaku setelah minum kopi magnya kambuh, jantungnya berdegub lebih kencang, perutnya kembung, atau efek samping lain yang merugikan. Pendek kata, jika dibanding-bandingkan, kopi lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Benarkah?
"Memang bisa terjadi seperti itu, tetapi tunggu dulu, jangan salahkan kopinya. Jika ada efek seperti itu, biasanya karena kita yang salah memperlakukan kopi," kata Widya Pratama (55), pemilik gerai kopi Aroma. "Jika kita memperlakukan kopi secara benar, justru ada banyak manfaat yang kita dapat dari kopi, bukan sekadar menyegarkan badan dan menghilangkan kantuk, kopi juga bisa jadi obat."
Menurut Widya, kesalahan dalam pengelolaan kopi bisa terjadi dari hulu hingga hilir. Di hulu, karena didesak kebutuhan, petani sudah memetik buah kopi yang masih muda. "Padahal, kopi yang baik harus dimulai sejak pemetikan, yakni harus dipetik dalam kondisi sudah matang, cirinya warna biji merah menyala," kata pria kelahiran Bandung 16 Oktober 1952 ini memberi penjelasan.
Pada dasarnya kopi memang mengandung kafein dan zat asam yang tinggi. Nah, biasanya para pelaku bisnis kopi, khususnya yang berskala besar (pabrik), kurang memerhatikan aspek persyaratan ini. Kopi yang baru dipetik langsung digoreng atau disangray, lalu digiling menjadi serbuk halus.
"Kalau cara perlakuannya seperti ini, ya pasti, kopi yang kita minum bisa mengakibatkan sakit mag, perut kembung, atau jantung deg-degan. Kalau saya tidak berani memperlakukan kopi seperti itu karena pertanggungjawabannya dunia akhirat," kata penganut Katolik yang sejak kecil juga mendapat pendidikan ala pesantren ini.
Kata Widya, agar keasaman kopi berkurang atau hilang, setelah dijemur untuk mengurangi kadar air, kopi harus disimpan cukup lama. "Saya menyimpan kopi antara 5-8 tahun, setalah itu baru saya sangray dan oleh menjadi kopi bubuk untuk dijual kepada langganan saya. Dijamin, tak akan kembung atau sakit mag," kata Widya dengan pasti. "Dan jangan lupa, agar manfaat kopi bisa kita rasakan maksimum, cara menyeduh juga harus benar."

Prinsip kejujuran

Bagi para pencinta kopi, nama Widya Pratama memang tak asing. Di tengah gempuran produk-produk kopi instan yang dihasilkan melalui pabrik modern, Widya konsisten mempertahankan bisnis kopinya secara konvensional. Bukan hanya alat yang digunakan merupakan produk peninggalan zaman Belanda tahun 1930, tetapi dalam hal manajemen usaha, Widya lebih memilih sikap konvensional.
Di gudangnya yang terletak di kawasan Jln. Banceuy Bandung, berton-ton biji kopi kering dalam karung goni bertumpuk. Biji-biji kopi tersebut berasal dari berbagai daerah sentra kopi di seluruh tanah air yang ia kumpulkan. Usia biji kopi tersebut rata-rata di atas delapan tahun, bahkan ada di antaranya sudah berusia 30 tahun.
Demikian pula saat menggoreng atau nyangray kopi, Widya lebih memilih cara lama, menggunakan kayu bakar dari pohon karet. Akibatnya, waktu penggorengan sangat lama, bisa mencapai dua jam. "Dengan kompor gas sebenarnya bisa lebih cepat. Tapi, cara seperti itu menyalahi filosofi mengelola kopi. Saya tidak mau. Kalau proses pembuatannya harus seperti itu, ya harus kita ikuti, agar orang lain tidak dirugikan," kata Widya dengan penuh kesungguhan.
"Bagi saya, mengelola kopi itu harus dengan niat bahwa usaha ini bukan sekadar mencari uang, tapi juga menjadi jalan buat saya dan keluarga saya agar bisa masuk surga. Makanya, saya tak mau bohongi orang karena bohong itu dosa, gini-gini juga saya pengen lho masuk surga, ha...ha...ha...," kata Widya disertai derai tawa.
Widya Pratama adalah generasi kedua penerima tongkat estafet Kopi Aroma yang didirikan ayahnya, Tan Houw Sian, pada tahun 1930. Sang ayah sebelumnya adalah pegawai perusahaan kopi milik Belanda sebelum mendirikan perusahaan kopi. Meski setiap hari sebagai dosen mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran, Universitas Maranatha, dan Universitas Widyatama Bandung, Widya tetap setia menjalani "kewajibannya" berada di dapur untuk mengelola kopi. "Setiap hari saya ya begini, bersama para karyawan nyangray kopi, baru setelah siang, saya mengajar," kata jebolan Fakultas Ekonomi Unpad yang menjadi anak angkat almarhum Prof. Rochmat Sumitro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unpad.
Setelah dirinya, Widya mengaku tidak tahu, siapa di antara ketiga anaknya yang akan mewarisi usaha kopinya. "Saya belum tahu, siapa yang akan meneruskan usaha saya, belum ada tuh anak-anak saya yang tertarik meneruskan usaha saya. Yang saya tahu, anak bungsu saya malah suka filsafat, biarin ajalah," kata Widya lagi-lagi dengan derai suaranya yang khas. (Muhtar Ibnu Thalab/"PR")***